Exive Apologize -Goes to Purwakarta- (part 2)

Sekitar pukul 10.00 kami pun keluar tol Cikampek. Seperti di Bekasi, begitu keluar tol bis kami langsung diserbu oleh pedagang – pedagang dan pengamen. Untungnya tidak banyak pengamen. Tapi ada satu pengamen yang lumayan kreatif. Sama seperti pengamen saat perjalanan pulang dari Subang di cerita Quatour sebelumnya, pengamen yang satu ini pake gitar, microphone, dan sound sistem sementara temannya mengiringi dengan gendang sederhana. Pengamen itu membawakan lagu lawas yang saya juga gak tahu apa itu genrenya dangdut atau bukan tapi ya sedikit –sedikit saya bisa menikmatinya. Kalo ada Friady mungkin dia hafal lagunya dan ikut nyanyi. Saya sudah mempunyai uang receh kembalian dari membayar ongkos bus tadi. Jadi saya tidak usah pikir panjang lagi untuk memberi pengamen itu sedikit uang receh. Beberapa menit di jalan akhirnya bus kami sampai di perempatan Sadang. Sang kenek bis memberi isyarat bahwa di sinilah seharusnya kami turun.

Kamipun turun di perempatan Sadang tepatnya di depan STS (Sadang Terminal Square), pusat perbelanjaan Sadang. Agak janggal sih. Maksudnya ya kenapa ada orang yang menamai sebuah pusat perbelanjaan dengan kata ’terminal’? Kenapa gak ‘Sadang Trade Square?’ Agak lebih keren kan? Setelah membeli sedikit buah tangan di Alfamart yang terletak di seberang jalan, kami segera melanjutkan perjalanan menuju rumah Bu Iin dengan berjalan kaki menyusuri jalan raya Sadang. Sebenanrya ada angkutan umum tapi kayaknya lebih enak jalan kaki. Ya sekalian menggerakkan badan. Tidak jauh, sekitar 800 m, berjalan kami pun sampai di komplek Yon Armed. Terpampang tulisan di gerbangnya ‘Armed 2’. Alamatnya Bu Iin kan Armed 9. Di depan gerbang Armed 2 ada pos jaga yang di dalamnya ada seorang tentara dalam posisi siap menopang senjata besar laras panjang dan memasang muka menakutkan. Saya dan Abdu berniat bertanya namun kami harus berpikir dua kali sebelum melakukannya. Entah si tentara itu melihat kami bertingkah aneh atau paa tapi begitu kami dekat dengan gerbang dia langsung menegur kami dengan tegas.

“Hey, ngapain!?” Teriak si Tentara.

Bergetarlah badan saya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Di pikiran saya muncul pikiran – pikiran aneh. Apa mungkin nanti saya dan Abdu ditembak karena disangka teroris. Pada waktu itu saya sedang membawa bungkusan hitam yang sebenarnya isinya adalah kue untuk Bu Iin. Mungkin si tentara mengira isinya bom, amunisi, atau kepala orang, atau hal – hal lain yang mungkin membuat kami ditembak. Atau mungkin dia akan menuruh kami push-up kaya TDP di Bonlap tapi yang jelas dibentak sama TNI lebih serem daripada TDP.

“Emm.. saya mau tanya, pak.” Saya mencoba memberanikan diri disamping si Abdu yang terus mendorong – dorong saya mendekati pos jaga itu. “Kalo asrama Yon Armed 9 dimana ya?”

Si tentara tidak menjawab. Kemudain dia menunjuk ke arah sebrang jalan sambil berkata dengan singkat dan tegas, “Di sana! Jalan terus!”

“Ooh iya, pak.” Saya tidak mau mencari masalah lebih lanjut dengan orang itu walaupun saya kurang menyerapi petunjuk yang dia berikan.

Kami terus berjalan hingga akhirnya sampai di depan komplek Yon Armed 9. Saya menelepon Bu Iin dan kata beliau kita disuruh nunggu aja di depan. Nanti dijemput sama suaminya. Di kepala kami mulai muncul pertanyaan – pertanyaan bagaimana sih suaminya Bu Iin? Apakah mukanya muka MTK kaya isterinya? Bu Iin pernah bilang kalo suaminya kerja sebagai bendahara yang ngurusin keuangan atau dengan kata lain berhubungan dengan ngitung sama angka.

Suami Bu Iin pun datang dengan mengendarai motor nya. “Ayo!” kata suami Bu Iin yang kemudian langsung berjalan masuk semaikin dalam ke dalam komplek semnentara kami mengikuti di belakangnya. Suami Bu Iin berkulit sawo matang agak sedikit gelap dengan potongan rambut cepak seperti kebanyakan TNI dan memakai baju seragam loreng serta celana kargo hitam seperti seragam TNI pada umumnya.

Kami menyusuri komplek TNI itu. Rumah – rumahnya bergaya kasik seperti zaman belanda dulu. Berwarna hijau putih dengan jendela kayu seperti di pedesaan. Di atas pintu rumahnya terpampang nama dari prajurit negara yang menghuni rumah itu. Tidak lama kami pun sampai di rumah Bu Iin. Rumahnay bergaya klasik seperti rumah yang lain dengan teras yang cukup luas dan ada nama ‘Mustofa’, nama suami Bu Iin, terpampang di atas pintu masuk rumahnya. Suami Bu Iin pun mempersilahkan kami masuk. Kami duduk menunggu di teras dengan beralaskan karpet. Setelah menyediakan minuman dan beberapa camilan suami Bu Iin segera pamit pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Kami mengobrol dan mengamati keadaan sekitar sembari menunggu Bu iin datang. Setelah beberapa lama menunggu dan mengamati ternyata ada satu hal yang kami tangkap di komplek itu. Bahwa ternyata para bapak – bapak di komplek itu memakai baju seragam TNI meskipun mereka tidak sedang bekerja. Bahkan ada yang sedang membakar sampah dia tidak mengenakan baju namun celana yang dia pakai adalah celana kargo persis seperti yang dipakai oleh suami Bu Iin. Ya mungkin itu agar mereka selalu dalam keadaan siap. Toh kita tidak tahu kapan perang terjadi. Bisa aja pada waktu itu alarm bunyi mengisyaratkan tentara NICA menyerang Indonesia lagi. Kan gak mungkin tentara mau perang mandi dulu atau ganti baju dulu.

Tidak lama kemudian adzan zuhur berkumandang. Selain menandakan waktu zuhur tiba itu juga menandaklan waktu makan siang tiba. Suami Bu Iin pun datang membawa bungkusan hitam yang ternyata isinya adalah 13 bungkus nasi padang yang sengaja dibelikan untuk kami. Yaampun sungguh merepotkan. Ketika kami buka ternyata isinya banyak sekalai plus lauknya rendang. Hati kami merasa tidak enak meskipun lidah kami merasa enak. Kami ke sini dengan tujuan meminta maaf karena dulu telah merepotkan Bu Iin. Tapi dengan keatangan kami Bu Iin justru tambah repot. Tapi ya apa boleh buat. Nasi padang telah dibelikan. Kamipun menyantap makan siang kami. Ternyata banayk sekali nasinya. Ya Qutour menyebutnya nasi padang porsi kuli. Tapi pada kondisi seperti ini, kami menyebutnya nasi padang porsi tentara. Tapi walaupun sangat banyak, kalo laper mah abis aja. Ditambah lagi motivasi saya untuk menabah berat badan sehingga makanan itu mampu saya habiskan. Setelah makan kami melaksanakan sholat zuhur dan berbincang – bincang sampai Bu Iin datang.

Sekitar pukul 15.30, yang kita tunggu – tunggu pun datang. Seakan kami menemukan pintu cahaya setelah berjalan dalam lorong kegelapan tanpa kepastian. Betapa leganya hati ini begitu mendengar Bu Iin sudah sampai di perempatan Sadang tadi. Suami Bu Iin pun pergi menjemput Bu Iin. Sekitar 15 menit Suami Bu Iin bersama dengan Bu Iin serta kedua putranya sampai di rumah. Seperti dugaan sebelumnya, Bu Iin datang dengan senyumnya seperti saat beliau masuk di pelajaran matematika dulu. Kami pun membalas senyuman Bu Iin dengan senyuman lega kami karena senang beliau telah datang. Begitu turun dari motor kami langsung menyambut tangan Bu Iin dengan bersalaman. Bu Iin kemudian langsung memanggil tukang bakso dan membelikan kami bakso sementara beliau bilang akan mandi dan ganti bajau dulu.

Kami sebenarnya sungguh merasa tidak enak. Disamping merepotkan Bu Iin, kami ternyata sudah pada kekenyangan setelah memakan nasi padang dengan porsi tentara tadi. Kami sedikit – sedikit menolak namun Bu Iin memaksa dan tanpa membuang kesempatan, si abang bakso langsung menyiapkan mangkuk – mangkuknya. Kamipun memesan. Siraj, Mida, dan Eki memesan mie ayam sementara sisanya memesan bakso. Datanglah semangkuk bakso yang terdiri dari mie kuning dan utih, 4 buah bakso kecil, dan sebuah bakso besar. Megan yang duduk di sebelah saya ternyata sudah terlalu kenyang untuk menghabiskan bakso itu sehingga dia memberikan bakso besarnya kepada saya. Saya pun membaginya kepada abdu. Sebenarnya saya suka bakso namun lambung saya telah penuh dan itu membuat saya membutuhkan waktu agak lama untuk menghabiskan bakso itu. Yaah… seperti biasa Pewe ngatain saya, ‘renta’ dan sebagainya.

Setelah menghabiskan bakso, kami, para pria, segera menuju masjid untuk sholat ashar. Penuhnya perut ini membuat kami lemas saat berjalan. Ditambah lagi kami tertawa sepanjang jalan dan itu membuat perut saya tambah sakit. Kalo misalnya pada waktu itu saya dikejar anjing, tetep ga mau lari. Digigit dah biarin. Kalo Abdu bilang, “Sabodo teuing aing mah.”

Setelah melaksanakan sholat ashar kami mulai berbincang – bincang dengan Bu Iin. Tapi sebelum berbincang – bincang, Bu Iin kembali mengeluarkan camilan dan snack untuk kami makan. Yaampun kami benar – benar merasa tidak enak. Kedatangn kami justru  malah merepotkan beliau. Kami memberitahukan motif kedatangan kami seraya kami mewakili seluruh siswa X.5  meminta maaf kepada Bu Iin. Kemudian kami memberikan kue yang telah kami siapkan kepada Bu Iin. Yaah layaknya seorang ibu, Bu Iin hanya tersenyum dan dia bilang bahwa dia tidak pernah merasa marah pada kami. Tapi ada satu hal yang saat itu membuat kami senang. Ternyata putra bungsu Bu Iin baru saja merayakan ulang tahun pada tanggal 10 Desember kemarin dan Bu Iin senang sekali ketika kami membawakan kue untuknya. Bu Iin bilang kalau anaknya suka sama kue ulang tahun. Setidaknya dengan begitu kedatangan kami ke sini tidak hanya menambah kerepotan Bu Iin.

Sekitar satu jam kami berbincang – bincang dengan Bu Iin dan tidak terasa jam sudah menunjukan lebih dari jam 5 sore. Kami pun memutuskan untuk menyudahi pertemuan itu dan kembali pulang agar tidak kemalaman sampai di rumah. Selain itu, dengar – dengar bahwa bus Primajasa terakhir ada sampai jam 5 sore. Setelah foto bersama beberapa kali kamipun pamit pulang dan mengucapkan terimakasih banyak kepada Bu Iin. Benar – benar pertemuan singkat yang penuh makna dengan sang wali kelas tercinta. Kamipun berjalan sampai perempatan Sadang dan menunggu bus. Di jalan pulang teryata ada sedikit eksiden yang membuat para cewe ketakutan. Kata cewe – cewe, tadi mereka melihat ada mas – mas yang menepok pan*at ibu – ibu yang lagi lewat. Hal itu membuat cewe – cewe takut. Akhirnya kami berjanji nanti di bus pokoknya cowonya duduk di pinggir sementara cewe – cewenya duduk di tengah sama di pojok. Jadi gak ada cowo yang duduk sama cowo.

Tapi sesampainya di perempatan ada masalah baru. Ternyata bus Primajasa yang ditunggu – tunggu gak datang – datang. Akhirnya kami memutuskan anik bus tigaperempat yang oenuh dan sesak sehingga beberapa dari kami terpaksa harus berdiri. Saya, Abdu, dan Arief berdiri di belakang sedangkan yang lain di depan. Namun betapa beruntungnya kami bertiga. Saat akan memasuki tol cikampek, penumpang lain pada turun dan menyebabkan ada 4 kursi di belakang yang kosong. Kami bertiga pun bisa duduk dan tidak berdiri. Sisa kursi yang satu lagi ditempati oleh Lita. Sementara itu Siraj, Pewe, Mida, dan Eki terpaksa berdiri sampai Bekasi.

Kami merasa sangat lelah saat itu. Sayapun tidak banyak bisa bergerak dalam kondisi sempit adn sesak saat itu. Hanya berusaha mengenang perjalanan ini. Betapa hebatnya seorang Bu Iin. Kalau kita kaji dari awal sebenarnya hari ini kami telah banyak merepotkan beliau. Beliau menyediakan diri untuk bertolak dari Tasikmalaya menuju Purwakarta demi menyambut kedatangan kami. Selain itu, beliau juga menyediakan banyak sekali makanan saat menyambut kami, membelikan nasi padang, bakso, dan satu lagi, sebelum kami pulang Bu Iin juga membungkuskan beberapa snack untuk kami bawa pulang. Disamping pengorbanan beliau, ternyata beliau juga tidak pernah menyimpan rasa marah kepada kami meskupin tahun lalu kami telah mengecewakannya. Yaampuun…betapa Bu Iin adalah sosok guru dan wali kelas yang hebat. Kami ber-12 mewakili siswa – siswi X.5 sungguh mengucapkan terimakasih dan memohon maaf yang sebesar – besarnya atas kesalahan kami terhadap Bu Iin.

Rasa lelah pun mulai berubah menjadi kantuk yang memberatkan mata ini untuk terbuka. Suasana perjalanan itu pun membuat Arief dan Abdu tertidur dan disusul oleh saya yang juga tertidur. Saya tidak tahu apakah yang lain jgua tertidur tapi saya yakin mereka sama – sama lelah.

Beberapa jam berlalu dan kamipun tiba di Bekasi. Dian turun di pintu Tol Timur sementara yang lain meneruskan sampai terminal. Begitu sampai terminal kami langsung turun dari bus. Namun begitu kami turun, datang berita yang tiadk menyenangkandari orang tua saya. Saya ditelepon dan diberitahu bahwa adik saya masuk rumah sakit karena infeksi dan pendarahan saluran pendengaran. Saya shock mendengar hal itu. Namun ternyata Pewe juga mendapat kabar yang buruk bahwa tenyata adiknya Pewe juga dibawa ke rumah sakit karena terjadi penggumpalan darah di kepala. Sungguh akhir yang kurang baik bagi perjalanan kami hari ini. Rasa lelah pun membawa kami untuk pulang ke rumah. Saya naik motor dengan Arief, Abdu dengan Lita, dan Siraj dengan Megan sementara Pe-E, Pewe, Lolie, Mida, dan Eki memutsukan utnuk naik angkutan umum.

Benar – benar perjalanan yang indah. Kebersamaan anggota X.5 dan perjumpaan dengan wali kelas tercinta. Kami pu menyadari betapa besar jasa seorang guru bagi kami terutama Bu Iin yang telah menjadi wali kelas kami selama setahun kami duduk di bangku X.5. Sebuah kue dan beberapa buah tangan dari kami tentunya tidak dapat membalas jasa beliu namun kami hanya dapat mengucapkan terimakasih dan menghaturkan do’a bagi beliau serta mengamalkan apa – apa saja yang beliau ajarkan sebagai tanda balas jasa kami. Semoga sukses X.5 angkatan 2009 dan terimakasih banyak untuk Ibu Rukartini Dwi, S.Pd.

 

 

 

*Baca cerita – cerita seru Quatour lainnya hanya di www.lordridho.wordpress.com

2 thoughts on “Exive Apologize -Goes to Purwakarta- (part 2)

Leave a comment